Rabu, 16 November 2011

MODEL PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-GHOZALI

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Imam Al Ghozali
            Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali dilahirkan di Thusia di daerah Khurasan (Persia), pada tahun 450 H/1058 M. Sejak kecil, Al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang dengan ilmu pengetahuan. Jadi tak mengherankan sejak masa kanak-kanak ia telah belajar kepada sejumlah guru di kota kelahirannya, antara lain Ahmad Ibn Muhammad al-Radzikani. Selain itu juga tak segan-segan ia belajar kepada guru yang jauh dari kota kelahirannya. Di antara guru yang terkenal yang pernah jadi gurunya ialah Imam Al juwaini (Imam Al-Haramain), sewaktu Al Ghazali menuntut ilmu di Naisabur.  
            Melihat kemampuan dan kecerdasab Al Ghazali, Al-Juwaini memberinya gelar “Bahrun Mughriq” (laut yang menenggelamkan). Al-Ghazali baru meninggalkan Naisabur setelah Imam Al-Juwaini meninggal dunia tahun 1085 M (478 H). Dari Naisabur Al-Ghazali menuju Baghdad dan menjadi guru besar di Universitas yang didirikan Nidham Al Mulk seorang Perdana Menteri Sultan Bani Saljuk. Ditengah-tengah kesibukannya sebagai guru besar, ternyata Al Ghazali yang kreatif ini sempat mengarang sejumlah ilmu pengetahuan, antara lain Al Basith, Al Wajiz, Khulashah ilmu fiqh, Al Munqil fi Ilm Al Jadal, Ma’khaz Al Kalaf, Lubab Al Nadzar, Tahsin Al Ma’akhidz dan Mumadi’ wa Al Ghayat fi Fan Al Khalaf.  
            Al Ghazali bertugas sebagai guru besar selam 4 tahun dan kemudian setelah menunaikan ibadah haji, ia menetap di Syam. Dari sini Al Ghazali kembali lagi ke Baghdad lalu ke Naisabur dan bertugas sebagai guru. Tapi tak lama sesudah itu ia kembali ke kota kelahirannya hingga wafatnya di tahun 1111 M  (505 H).   


2.2 Pandangan Al-Ghazali tentang Pendidikan  
            Pemikiran Al Ghazali mengenai pendidikan selain mengenai penjenisan ilmu pengetahuan, juga dalam bidang pendidikan anak, metode pendidikan dalam penentuan profesi kependidikan. Dalam bidang yang berkaitan dengan pendidikan anak, Al Ghazali telah mengemukakan pemikirannya tentang bakat, motivasi, perbedaan individu, dalam tingkat kecerdasan dan tingkat perkembangan berdasarkan usia.
            Menyimak pemikiran Al Ghozali mengenai pendidikan dengan segala seluk beluknya, terasa sulit untuk menerima anggapan bahwa tokoh ini sering dikaitkan sebagai penyebab dari kemunduran kaum muslimin. Pernyataan-pernyataan yang bernada negatif terhadap Al Ghozali yang dikaitkan dengan kedudukan beliau sebagai seorang sufi, yang dalam pandangan umum berkonotasi dengan mementingkan kehidupan spiritual semata, barangkali sukar untuk dibenarkan sepenuhnya. Malahan dalam pemikiran pendidikannya, Al ghozali juga menganjurkan untuk memeperhatikan perkembangan jasmani.”seyogyanya anak dilarang tudur siang karena akan membiasakannya bersifat malas. Waktu tidur dimalam hari biasakan ia tidur ditempat yang keras agar tahan menderita. Biasakan mereka dengan kesederhanaan baik ketika tidur, berpakaian maupun makanan. Namun pada siang hari biasakan mereka berjalan-jalan, bergerak dan berolahraga sehingga tidak dikuasai sifat malas.”  
            Adapun pandangan Al Ghazali tentang kurikiulum pendidikan islam tidak dapat dilepaskan dari pandangannya ilmu pengetahuan. Beliau membagi ilmu pengetahuan menjadi pengetahuan yang terlarang dan ilmu pengetahuan yang wajib di pelajari oleh anak didik :
Ø  Ilmu yang Tercela
Yaitu ilmu yang tidak bermanfaat baik di dunia dan di akhirat, seperti ilmu sihir, nujum dan ilmu perdukunan. Bila yang dipelajari akan membawa mudharat dan meragukan kebenaran adanya Tuhan.
Ø  Ilmu yang Terpuji
Yaitu ilmu Tauhid dan ilmu Agama. Ilmu ini akan membawa seseorang kepada jiwa yang suci, bersih dan mendekatkan diri kepada Allah, Seperti halnya ilmu Filsafat.
            Adapun metode pendidkan di klasifikasikan Al Ghazali menjadi dua bagian :
Pertama, metode khusus pendidikan Agama, metode khusus pendidikan Agama ini memiliki orientasi kepada pengetahuan aqidah karena pendidikan agama pada realitasnya lebih sukar dibandingkan dengan pendidikan umum lainnya, karena pendidikan agama menyangkut problematika intuitif dan lebih menitikberatkan pada pembentukan personality peserta didik.
Kedua, Metode khusus pendidikan akhlak, Al Ghazali (1991) mengungkapkan : “sebagaiman dokter, jikalau memberikan pasiennya dengan satu macam obat saja niscaya akan membunuh kebanyakan orang sakit, begitupun guru, jikalau menunjukkan jalan kepada murid dengan satu macam saja dari latihan, niscaya membinasakan hati mereka. Akan tetapi seyogyanyalah memperhatikan penyakit murid tentang keadaan muridnya, tentang keadaan umurnya, sifat tubuhnya dan latihan apa yang disanggupinya.
2.3 Tujuan Pendidikan Menurut Pandangan Al Ghozali
            Al Ghozali mempunyai pandangan berbeda dengan kebanyakan ahli filsafat pendidikan Islam mengenai tujuan pendidikan Islam. Beliau menekankan tugas pendidikan adalah mengarah pada realisi tujuan keagamaan dan akhlak, dimana fadhilah (keutamaan) dan taqarrub kepada Allah merupakan tujuan yang paling penting dalam pendidikan. Sesuai penegasan beliau: “manakalah seorang ayah menjaga anaknya dari siksaan dunia, hendaknya ia menjaganya dari siksaan api neraka atau akhirat, dengan cara mendidik dan melatihnya serta mengajarnya dengan keutamaan akhirat, karena akhlak yang baik merupakan sifat Rasululllah SAW (sayydul mursalin) dan sebaik-baik amal perbuatan orang-orang yang jujur, terpercaya, dan merupakan realisasi dari pada buahnya ketekunan orang yang dekat kepada Allah”.
             Al Ghozali telah menjelaskan tentang sistem pendidikan dengan menerangkan tentang berbai ilmu yang wajib dipelajari oleh murid, yang sesuai dengan kurikulum pengajaran masa kini dan juga mungkin metode-metode mengajar yang harus diikiti oleh guru dalam mendidik anak dan dalam menyajikan ilmu pengetahuan kepada murid agar supaya menarik minat dan perhatian mereka serta sesuai dengan kecenderungan mereka.
            Pandangan beliau tentang tujuan pendidikan itu mendapat pengaruh dari falsafah tashawufnya. Beliau membagi jenis-jenis ilmu pengetahuan dan menerangkan nilai ilmiah serta kemanfaatannya bagi murid. Beliau telah menyusun ilmu-ilmu itu menurut kepentingan dan kemanfaatan ilmiahnya. Belieu juga menjelaskan prinsip-prinsip yang harus dipegangi oleh guru pada waktu melaksanakan tugas mendidik dan mengajar yaitu prinsip bahwa petunjuk agama dipandang olehnya sebagai yang paling penting, sehingga jelaslah Al Ghozali berpendirian bahwa tujuan pendidikan bagi beliau adalah bersifat keagamaan dan keakhlakan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan sekaligus untuk mendapatkan ridhanya, karena Agama merupakan sitem kehidupan yang menitikberatkan pada pengalaman.
Menurut al-Ghazali, pendekatan diri kepada Allah merupakan tujuan pendidikan. Orang dapat mendekatkan diri kepada Allah hanya setelah memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmi pengetahuan itu tidak akan diperoleh kecuali melalui pengajaran. Selanjutnya, dari kata-kata tersebut dapat difahami bahwa menuru al-Ghazali tujuan pendidikan dapat dibagi menjadi 2 yaitu tujuan jangka panjang dan pendek.
a. Tujuan pendidikan jangka panjang
Adalah mendekatkan diri kepada Allah, pendidikan dalam prosesnya harus mengarahkan manusia menuju pengenalan dan kemudia pendekatan diri kepada Allah. Menurut konsep ini, dapat dinyatakan bahwa semakin lama seseorang duduk dibangku pendidikan, semakin bertambah ilmu pengetahuannya, maka semakin mendekat kepada Allah.
Tentu saja untuk mewujudkan hal itu bukanlah sistem pendidikan yang memisahkan ilmu-ilmu keduniaan dari nilai-nilai kebenaran dan sikap religius, tetapi sistem pendidikan yang memadukan keduanya secara integral. Sistem inilah yang mampu membentuk manusia yang mampu melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan dan sistem pemdidikan al-Ghazali mengarah kesana.
b. Tujuan pendidikan jangka pendek 
Adalah diraihnya profesi manusia sesui dengan bakat dan kemampuannya. Syarat untuk mencapai tujuan itu adalah, manusia mengembangkan ilmu pengetahuan baik yang fardu ‘ain maupun fardu kifayah.         
Kesimpulan tujuan pendidikan menurut al-Ghazali :        
1) Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan dengan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunnah.       
2)  Menggali dan mengambangkan potensi atau fitrah manusia.  
3) Mewujudkan profesionalisasi manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya. 
4) Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.         
5) Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama sehingga menjadi manusia yang manisiawi.
            Selanjutnya Al ghozali memperinci pembagian ilmu pengetahuan berdasarkan pembidangan (spesialisasi) menjadi dua bidang yaitu:
1.      Ilmu Syari’at sebagai ilmu yang terpuji, terdiri atas:
a.       Ilmu Usul (IlmuPokok): Ilmu Al Qur;an, Sunnah Nabi, Pendapat-pendapat Shahabat dan Ijma’.
b.      Ilmu Furu’ (Cabang): Fiqh, Ilmu hal Ihwal hati dan Akhlak.
c.       Ilmu Pengantar (Mukhadimah): Ilmu Bahasa dan Gramatika.
d.      Ilmu Pelengkap (mutammimah): Ilmu Qiro’at, Makharij Al Huruf Wa Al-Alfadz, Ilmu Tafsir, Nasikh, dan Mansukh, Lafadz Umum dan Khusus, lafat Nash dan Dzahir serta biografi dan sejarah perjuangan Shahabat.
2.      Ilmu bukan Syari’at terdiri atas:
a.       Ilmu yang terpuji: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu perusahaan. Khusus mengenai ilmu perusahaan dirinci menjadi:
·         Pokok dan utama: pertanian, pertenunan, pembangunan, pembangunan dan tata pemerintahan.
·         Penunjang: pertukangan besi dan industri sandang.
·         Pelengkap: pengolahan pangan (pembuatan roti), pertenunan (jahit menjahit).
b.      Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan): kebudayaan; sastra, sejarah dan puisi.
c.       Ilmu yang tercela (merugikan): ilmu tenung, sihir dan bagian-bagian tertentu dari filsafat.
2.4 Pendapat Al Ghozali Tentang Mendidik Anak
            Al Ghozali mengingkari teori hereditas (faktor keturunan), yang oleh pendidikan modern akhir-akhir ini banyak diperhatikan dan dipandang penting. Namun dalam hal ini Al Ghozali tidak antusias dalam menganalisa masalah ini. Padahal ini nampak jelas kepada kita bahwa ilmu jiwa modern dengan pandangan barunya menganggap penting tentang teori hereditas ini, dan menetapkan sebagai suatu faktor yang berpengaruh. Sedang Al Ghozali berpendapat lain, yaitu bahwa anak dilahirkan tanpa dipengaruhi oleh sifat-sifat heriditer kecuali hanya sedikit sekali, karena faktor pendidikan, lingkungan dan masyarakat merupakan faktor yang paling kuat mempengarihi sifat-sifat anak. Pendapat beliau ini sejalan dengan pendapat para ahli psikologi (behavorisme) yang mengingkari adanya pengaruh faktor keturunan ini secara mutlak.
            Sebenarnya Al Ghozali dalam pendapat-pendapatnya yang mengkaitkan dengan pengaruh faktor keturunan dan lingkungan itu telah mendahului para ahli ilmu jiwa dan pendidikan berabad abad sebelumnya. Pendapat ini diperkuat oleh kedalaman pengaruh Agama yang beliau analisa mengenai pembentukan akhlak anak, atas dorongan keinginan beliau menjaga anak dari dampak lingkungan, maka beliau membuat program khusus untuk pendidikan anak.
            Hendaknya anak dididik sejak mulai lahir. Pendapat ini mirip sekali dengan kurikulum pendidikan modern pada bangsa-bangsa zaman dahulu, akan tetapi beberapa abad sebelumnya telah ada pendapat yang berkaitan dengan hal tersebut yang menganjurkan agar supaya mulai diusahakan mendidik anak sebelu lahir (pendidikan pra-natal). Al Ghozali mengharuskan agar anak diasuh oleh seorang perempuan yang sholihah dan dapat menjaga diri, dan tidak boleh menyusukan anak kepada perempuan kecuali perempuan yang memiliki sifat sama dengan perempuan yang mengasuhnya. Beliau menganjurkan agar mendidik anak secara dini. Beliau mengatakan: “sesungguhnya jika diabaikan pada periode awal pertumbuhannya maka ia akan mudah dikalahkan oleh keburukan akhlak yang penuh dengan kebohongan dan kedengkian israf (dekadensi), suka mengumpat, banyak menuntut sesuatu, penuh dengan tipu daya dan kegila gilaan dan lain-lainnya. Tak ada cara lain kecuali ia harus dididik dengan pendidikan yang paling baik. Orangtua hendaknya ingat bahwa pendidikan anak itu tidak hanya cukup dengan pengajaran, meskipun mengandung beberapa macam pelajaran lainnya, janganlah mengurangi perhatian terhadap pengajaran anak, oleh karena itu harus mengawasinya sejak permulaan pendidikan dan jangan sampai menyerahkan anak yang diasuh dan disusui oleh perempuan yang tidak beragama dan tidak shalihah yang memekan makanan yang tidak halal.
            Sebaiknya anak dididik dengan pendidikan jasmani agar tidak malas. Al Ghozali secara khusus memperhatikan pendidikan jasmani, karena dapat memperkuat jasmani serta menumbuhkan kecekapan dan kegairahan hidup. Beliau menyatakan: “hendaknya anak di biasakan berjalan jalan, gerakan-gerakan dan latihan jasmani diwaktu siang hari, agar supaya tidak menjadi pemalas”. Menurut pendapat beliau bahwa anak diizinkan untuk bebas bermain setelah pulang sekolah, untuk beristirahat setelah belajar di sekolah, tapi jangan sampai lelah lantaran bermain, karena melarang anak bermain, dan mengekang terus belajar akan mematilan hati; dan menghilangkan kecerdasan, serta mempersulit kehidupannya.
            Hendaknya anak juga dibiasakan dalam perilaku akhlak yang terpuji dan perbuatan yang baik serta dijauhkan dari perbuatan yang buruk dan rendah. Sebaliknya, anak-anak tersebut ditanamkan dalam jiwanya tentang sifat-sifat pemberani, sabar dan rendah hati, menghormati teman dan orang yang lebih tua, sedikit bucara, mendengarkan hal-hal yang baik, taat kepada kedua orangtua dan kepada guru serta pendidikannya. Disamping itu diajarkan anak-anak untuk menjahui perkataan yang tak berguna atau kotor atau congkak terhadap teman-temannya, atau melakukan sesuatu perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh kedua orang tua.
            Menurut beliau mendidik akhlak anak merupakan pekerjaan yang bernilai tinggi dan yang paling penting, karena beliau memandang bahwa anak merupakan amanat Allah bagi orang tuanya dimana hatinya bersih, suci bagaikan mutiara yang cemerlang dan jiwanya sederhana yag kosong dari segala lukisan atau ukiran. Anak anak itu akan menerima segala sesuatu yang di ukirkan padanya, serta condong pada sesuatu yangmengotorinya. Jika ia di biasakan dengan kebiasaan yang baik, ia akan tumbuh menjadu baik, dan ia akan berbahagia di dunia dan akhirat, sedang orang tuanya ikut mendapatkan pahala dari padanya, juga guru dan pendidiknya mendapatkan pahala dari padanya. Jika ia dibiasakan dengan perbuatan buruk, maka ia akan celaka dan rusak, ia mendapatkan beban dosa atas pundaknya dan juga walinya.
2.5 Kewajiban Peserta Didik
            Peserta didik memiliki sepuluh poin kewajiban, atau wadlifah menurut al Ghozali :
            Pertama, memprioritaskan penyucian diri dari akhlak tercela dan sifat buruk, sebab ilmu itu bentuk peribadatan hati, shalat rohani dan pendekatan batin kepada Allah. Sebagaimana shalat yang merupakan amaliah lahir saja tidak sah tanpa adanya thaharah (penyucian badan) dari hadats dan kotoran, demikian halnya ibadah batin pun tidak sah kecuali setelah dilakukan penyucian diri dari noda-noda akhlak. Nabi bersabda : “Agama ini ditegakkan atas dasar kebersihan diri”, baik secara lahiriah maupun secara batiniah. Allah berfirman : “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis”, ini menyiratkan bahwa yang dikehendaki dengan kesucian dan kotoran itu tidak hanya terbatas pada artian fisik-lahiriah, mengingat orang musyrik itu tidak jarang yang secara fisik-lahiriah bersih, namun ia tetaplah kotor batiniahnya.
            Tugas kedua, peserta didik menjaga diri dari kesibukan-kesibukan duniawi dan seyogyanya berkelana jauh dari tempat tinggalnya. Sebab, bergelut dengan kesibukan-kesibukan duniawi dapat memalingkan konsetrasi belajarnya, sehingga kemampuan menguasai ilmu yang dipelajari menjadi tumpul. Wajar bila ada ungkapan : “Ilmu tidak akan menyerahkan diri kepadamu, hingga kamu mau memberikan semuanya. Jika kamu telah memberikan semuanya, maka kamu pun harus tetap berhati-hati dan waspada”. Pikiran dan perhatian yang bercabang, laksana percikan-percikan air yang meresap di tanah dan diterpa angin kesana-sini, sehingga tak sedikitpun yang tersisa untuk bisa dimanfaatkan.
            Tugas ketiga, tidak membusungkan dada terhadap orang alim (guru), melainkan bersedia patuh dalam segala urusan dan bersedia patuh dalam segala urusan dan berusaha mendengarkan nasihatnya. Sebab, pasien (analogi kondisi murid) sudah seharusnya mematuhi apa yang menjadi nasihat dokter (analogi posisi guru) yang menanganinya. Bagi murid, dianjurkan agar mau bersikap rendah hati dan berkhidmat kepada gurunya
            Tugas keempat, bagi penuntut ilmu pemula hendaknya menghindarkan diri dari mengkaji variasi pemikiran dan tokoh, baik menyangkut ilmu-ilmu duniawi maupun ukhrawi. Sebab hal ini dapat mengacaukan fikiran, membuat bingung dan memecah konsentrasi. Ia perlu terlebih dulu menguasai betul suatu disiplin ilmu dari salah satu guru (ilmuwan), baru mengkaji ragam pemikiran dan aliran yang lainnya. Sekiranya seorang guru yang dimiliki ternyata tidak independen atas suatu pemikiran, sang guru cuma “mengutip” sana-sini, maka murid hendaklah waspada, mengingat guru yang demikian umumnya lebih banyak membuat bingung dari pada mengarahkan. Ia ibarat orang buta yang tidak mungkin membimbing orang-orang yang sama-sama buta.
            Tugas kelima, penuntut ilmu tidak mengabaikan suatu disiplin ilmu apapun yang terpuji, melainkan bersedia mempelajarinya hingga tahu akan orientasi dari disiplin ilmu lanjut. Namun jika tidak, ia perlu memprioritaskan disiplin ilmu yang terpenting untuk didalami.  
            Tugas keenam, penuntun ilmu dalam usaha mendalami suatu disiplin ilmu tidak dilakukan sekaligus, akan tetapi perlu bertahap dan memprioritaskan yang terpenting. Sebab sekiranya usia tidak mencukupi untuk mempelajari aneka ragam disiplin ilmu, maka sewajarnya bila semangatnya diarahkan pada disiplin ilmu yang terpenting dan terbaik, sehingga bisa menjadi pakar dalam keilmuwan yang termulia, yaitu ilmu-ilmu akhirat, baik ilmu mu’amalah maupun ilmu mukasyafah.   
            Tujuan ilmu mu’amalah adalah ilmu mukasyafah, sedangkan tujuan dari ilmu mukasyafah adalah ma’rifatullah. Yang dimaksud dengan hal ini bukanlah i’tikad (keyakinan) yang diwarisi dari orang tua atau yang diperoleh dari kemahiran berargumen dan berdebat seperti tujuan ilmu kalam, melainkan sebuah keyakinan yang muncul dari “cahaya” Tuhan yang menerangkan hati seorang hamba, melalui mujahadah, sehingga batinnya tersucikan dari kotoran-kotoran.
            Tugas ketujuh, penuntun ilmu tidak melangkah mendalami tahp ilmu berikutnya hingga ia benar-benar menguasai taha ilmu sebelumnya. sebab, ilmu itu bersinambung secara linier, satu sama lain saling terkait. Orang cerdik adalah orang yang sangat memperhatikan kesinambungan linier dan gradual. Allah berfirman, “Orang-orang yang telah kami beri Al-Kitab, mereka membacanya dengan serius”. Artinya, mereka tidak melewati sepenggalpun dari al-kitab, hingga mereka benar-benar mengetahui dan mengamalkannya.  
            Tugas kedelapan,  penuntut ilmu hendaknya mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan dapat memperoleh ilmu yang paling mulia. Kriteria kemuliaan dan keutamaan ilmu didasarkan pada dua hal : keutamaan hasil (dampak) dan reliabilitas landasana argumentasinya.
            Tugas kesembilan, tujuan belajar penuntut ilmu adalah pembersihan batin dan menghiasinya dengan keutamaan serta pendekatan diri kepada Allah serta meningkatkan maqam spiritualnya. Sebaliknya bukan bertujuan mencari kedudukan, kekayaan dan popularitas. Dengan tujuan seperti itu, hendaknya memprioritaskan ilmu akhirat, namun jangan sampai meremehkan ilmu-ilmu lain, semisal ilmu nahwu dan ilmu bahasa yang dikategorikan termasuk kedalam rumpun ilmu pengantar dan ilmu pelengkap yang hukum mempelajarinya fardhu kifayah.
            Tugas kesepuluh, penuntut ilmu mengetahui relasi ilmu-ilmu yang dikajinya dengan orientsi yang dituju, sehingga dapat memilah dan memilih ilmu mana yang harus diprioritaskan. Manakah dari sekian ilmu yang perlu lebih dipentingkan.
2.6    Kewajiban Pendidik (Guru)
Al-Ghazali berpandangan “Idealistik” terhadap profesi guru idealisasi guru guru, menurutnya adalah orang yang berilmu beramal dan mengajar. Orang seperti ini adalah gambaran orang yang terhormat di kolong langit dari ini Al-Ghazali menekankan perlunya keterpaduan ilmu dengan amal. Ia mnyerupakn guru sejati dengan matahari yang menyinari sekelilingnya dengan minyak wangi (misk) yang membuat harum di sekitarnya. Adapun orang berilmu yang tidak mau mengamalkan ilmunya, maka ia ibarat lembar kertas yang bermanfaat bagi lainnya namun dirinya kosong atau ibarat jarum yang menjahit baju untuk yang lain, sementara dirinya sendiri justru telanjang atau ibarat lilin yang menerangi lainnya namun dirinya sendiri justru meleleh terbakar.
Al-Ghazali menguraikan sejumlah sifat – sifat guru yang mencerminkan tugas yang harus di laksanakan oleh mereka yaitu mendidik akal pikiran, jiwa dan rah, yang dijelaskannya sebagai berikut :
a). Hendaknya guru mencintai muridnya bagaikan anak sendiri, dengan ucapannya : “Orang  tua adalah menjadi sebab wujudnya kehadiran anaknya dan kehidupan itu adalah bersifat fana, dan guru menjadi sebab kehidupan yang abadi.”
            Pengarahan kasih sayang kepada murid mengandung makna dan tujuan memperbaiki hubungan pergaulan dengan anak-anak didiknya, dan mendorong mereka untuk mencintai pelajaran, guru, dan sekolah dengan tanpa berlaku kasar terhadap mereka. Dengan dasar ini maka hubungan pergaulan antara guru dan murid menjadi baik dan intim yang didasari atas rasa kasih sayang dan cinta serta kehalusan budi. Dengan cara demikian, maka guru disenangi oleh murid-muridnya lalu mereka menerimanya dan mencintai pelajarannya serta mengembangkan kemanfaatan ilmu yang diajarkannya. Dengan cara ini maka iklim sekolah menjadi favorable untuk belajar mereka, yang memberikan angin segar dan cinta kasih. Dalam situasi dan kondisi yang demikian maka semangat belajar dari murid-murid menjadi kuat.
            Bobot rasa kasih sayang dalam diri guru itu akan mampu merealisasikan prinsip-prinsip hubungan kemanusiaan dimana hali ini sangat dianjurkan oleh beliau dan sangat dihimbau oleh sistem pendidikan modern.
b). Guru jangan mencari bayaran dari pekerjaan mengajarnya demi mengikuti jejak Rasulullah SAW dengan alasan bahwa pekerjaan mengajar itu lebih tinggi harganya dari pada harta benda. Cukuplah kiranya guru mendapatkan kebaikan (fadhillah) dan pengakuan tentang kemampuannya menunjukkan orang kepada jalan kebenaran dan hak, kebaikan dan ilmu pengetahuan, dan yang lebih utama lagi ialah guru dengan menunjukkan jalan yang hak kepada orang lain. Pada hakikatnya ia membentuk kelompok pengikut yang mendukung aliran pahamnya (mazhabnya) dalam kegiatan pengajaran kepada mereka, dan hal itu cukuplah menjadi upah atas jerih payahnya,
c). Guru hendaknya menasehati muridnya agar jangan mencari ilmu untuk kemegahan atau mencari penghidupan, akan tetapi menuntut ilmu demi untuk ilmu dan hal ini merupakan dorongan idealis yang dijadikan teladan ialah yang memperhatikan kebenaran yang hak dan aspek kebaikannya, serta melihat suatu keindahan dari aspek keindahannya itu sendiri.
            Sebenarnya Al-Ghazaly mengarahkan ilmu ketingkat yang tinggi untuk dipelajari karena ilmu dapat mengembangkan ilmu lainnya dan dapat diperdalam pembahasannya. Bukan hanya untuk mengabdi kepada masyarakat semata, namun ilmu pada zaman kita mempunyai dua jenis ; yaitu ilmu untuk masyarakat dan ilmu untuk ilmu. Jenis yang pertama ialah ilmu yang dharuri bagi umat yang terbelakang yang sangat membutuhkannya untuk meningkatkan taraf hidupnya dan mempertinggi standar kehidupannya dalam masyarakat. Dan ilmu yang kedua ialah yang diharuri bagi umat muslim dapat mencapai ilmu itu, maka mereka dapat memperoleh tingkat kemajuan dan kemakmuran yang tinggi.
            Al Ghozali secara praktistidak mengabaikan pentingnya pengalaman ilmu yang diajarkan semata-mata hanya untuk beribadah atau bertaqarruf kepada Allah, sehingga seakan-akan mengharamkan pekerjaan mengajar untuk sekedar mencari nafkah kehidupan atau pekerjaan profesional.
d). Guru wajib memberi nasihat murid-muridnya agar menuntut ilmu yang bermanfaat tersebut (menurut beliau) ialah ilmu yang dapat membawa kepada kebahagiaan hidup akhirat, yaitu ilmu agama. Pendapat beliau ini bersumber dari pandangan keagamaan dan kesufian beliau, yang mendorong kepada pembentukan kurukulum pendidikan agama dan akhlak. Ilmu syari’ah (menurut beliau) termasuk ilmu yang terpuji (mahmudah) yang terdiri atas empat macam yaitu ilmu usul, furu’ (cabang), pengantar dan ilmu penyempurna. Ilmu usul ada empat macamnya yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, ijma’ ummat, pendapat para shahabat (diuraikan dalam kitabnya “ihya ‘ulumuddin”). Adapun ilmu fiqh sebagai ilmu furu’ terdiri dari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kemaslahatan duniawi, dan ilmu tingkah laku hati (batin), akhlak yang terpuji dan tercela termasuk ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hidup ukhrawi.
            Ilmu muqaddimat, menurut beliau ialah ilmu alat yang dharuriyah yang wajib dikuasai untuk mempelajari ilmu syari’ah. Ilmu-ilmu alat ini terdiri dari ilmu bahasa, nahwu, (grametika) yang merupakan wasilah (sarana), karena ilmu-ilmu tersebut akan memperkuuat faham (pengertian) dan mempertimbangkan melalui perasaan. Sedang ilmu bahasa (Arab) adalah merupakan bahasa syara’.
e). Seorang guru idola (teladan) yang baik dan contoh utama yang harus ditiru oleh anak-anak (mereka menyerap kebiasaan baik yang dikembangkan oleh seorang guru idola). Mereka senang mencontoh sifat-sifat dan meniru segala tindak-tanduk guru yang diidolakan. Oleh karena itu seorang guru wajib berjiwa lembut yang penuh dengan tasammuh (lapang dada) penuh keutamaan, dan terpuju. Sebaiknya guru dalam mengajarkan ilmu-ilmu tidak mengacaukan pandangan murid dengan ilmu-ilmu yang tidak ia ajarkan, misalnya mengajar ilmu fiqh  mengacaukan dengan ilmu lughah (bahasa), atau sebaliknya mengajarkan lughah dicampur baurkan dengan fiqh. Jika hal itu dikerjakan, maka ia berbuat tercela, tidak sesuai dengan tugasnya yang terhormat.
f). Memperhatikan bakat-kemampuan murud tingkat perkembangan akal dan pertumbuhan jasmaniahnya.
            Al Ghozali menganjurkan agar supaya guru memperhatikan tahap-tahap peningkatan kemampuan anak dalam mempelajari ilmu dari satu jenjang ke jenjang lain yang lebih tinggi. Dalam hal ini ibnu Kholdun juga berpendapat sama. Yaitu ia menetapkan bahwa seorang guru tidak boleh mengajar kecuali dalam tiga tingkatan. Ibnu Kholdun dan Al Ghozali menyusun pandangannyaitu dalam kitab pelajaran ilmu nahwu (grametika) yang ditulisnya, yang mana guru-guru  dan para ahli didik zaman modern sekarang melaksanakan apa yang dianjurkan oleh Ibnu Kholdun dan Al Ghozali.
g). Harus memperhatikan perbedaan-perbedaan individual anak (murid).
            Prinsip-prinsip baru pendidikan yang dikemukakan oleh Al Ghozali sebelumnya, ialah hendaknya guru tidak mengajarkan ikmu pengetahuan kepada murid diluar kemampuan akal fikirannya dan juga ilmu yang belum dapat tercapai oleh kecerdasan akalnya. Karena hal ini akan menjauhkan murid dari ilmu dan mengacaukan fikiran mereka. Beliau mengatakan: “wajiblah seorang guru menyesuaikan pelajaran dengan kemampuan pemahaman murid, dan tidak boleh memberikan pelajaran yang tidak dapat dicapai oleh akalnya, karena hal itu akan menjauhkan murid dari pelajaran itu dan meruntuhkan akalnya”.

h). Guru hendaknya mampu mengamalkan ilmunya, agar ucapannya tidak mendustai perbuatannya.
            Oleh karena ilmu itu dimengerti melalui kecerdasan fikiran, dan amal difahami dengan getaran hati nurani yang mendalam, maka setiap orang yang mendapatkan sesuaty tentu, mengatakan kepada orang lain: “ janganlah kamu berusaha mendapatkan sesuatu itu, karena hal itu menjadi racun yang merusak maka orang menghina dan mencemoohkannya, karena itu mendorong mereka untuk menjauhinya.
             Al Ghozali menghendaki agar guru menjadi contoh teladan yang baik bagi murid-muridnya. Jika kita amati kenyataan masa kini bahwa sistem pendidikan tidak akan mengalami kerusakan di sekolah-sekolah kita, kecuali jika para guru tidak melakukan apa yang mereka katakan, sehingga murid-muridnya tidak mendapatkan seorang guru pun diantara mereka tokoh teladan dan ikutan baik yang diteladani sebagai idola mereka. Dalam kaitan ini firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat yang tegas menyatakan sebagai berikut:
اَتَاْمُرُوْنَ النَّاسِ بِاْلبِرِ وَتَنْسَوْنَ اَنْفُسَكُمْ ........
     “ Apakah kamu meerintah manusia dengan perbuatan baik sedangkan kamu lupa terhadap dirimu sendiri.” (Al-Baqarah:44).
     Disamping itu mereka melupakan syair yang mengatakan
لاَ تَنْهُ عَنْ خُلُقٍ وَتَاْتِي مِثْلَهُ
     “ Janganlah engkau melarang orang lain berbuat akhlak jelek sedangkan kamu sendiri melakukannya.”
i). Mempelajari hidup psikilogis murid-muridnya.
            Al Ghozali menasehati guru agar mempelajari kehidupan psikologis murid-muridnya, agar keragu-raguan antara guru dan murid-murid lenyap, dan mereka dapat bergaul akrab, serta menghilangkan gangguan-gangguan yang menghalangi hubungan mereka dengan murid-muridnya.
            Oleh karena itu guru harus selalu dapat menimbulkan perasaan dan memotivasi mereka bahwa ia tidak menutup diri terhadap mereka dan mereka harus selalu bersangka baik kepadanya bahwa ia adalah guru yang dapat dipercaya; jika mereka menuntut sesuatu, berilah mereka sesuatu yang lebih baik dari apa yang mereka punya yaitu wajah yang berseri dan bersinar yang menyenangkan.
Dowload file ini 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar