Rabu, 16 November 2011

MODEL PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT Naquib al-Attas

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.      Biografi dan Pendidikan  Al-Attas
Syed Moh Naquib al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September `93`. Saat itu Indonesia beradadi bawah kekuasaan kolonialisme Belanda. Al-Attas termasuk keturunan orang-orang yang berdarah biru. Ibunya bernama Syarifah Raquan Al-‘Aydarus keturunan bangsawan Sunda di Sukapura[1],  ayahnya syed Abdullah ibn Muhammad Al-Attas  bangsawan di Johor. Al-Attas juga mendapat  gelar “Sayyed” dalam tradisi Isalam keturunan langsung dari nabi Muhammaad.
            Usia 5 tahun, al-Attas dibawa orang tuanya migrasi ke Malaysia. Al-Attas mendapat pendidikan dasar di Ngee Heng Primary School[2] sampai usia 10 tahun.Di sana , al-Attas tingal bersama pamannya, Ahmad, kemudian dengan bibinya, Azizah yang suaminya bernama Dato’ Jaafar ibn Haji Muhammad, Kepala menteri Johor Modern yang pertama. Kemudian al-Attas dan keluarganya kembali ke Indonesia. Disini al-Attas melanjutkan pendidikan di “urwah al-wusqa:, Sukabumi selama 4 tahun pada tahun 1941-1945. Al-Attas mendalami tradisi Isla, bisa dipahami karena saat itu di Sukabumi berkembang perkumpulan tarekat Naqsabandiyah.[3]
            Al-Attas kembali ke Malaysia dengan memasuki dunia militer dengan mendaftarkan sebagai tentara kerajaan upaya mengusir penjajah Jepang. Dalam bidang kemiliteran al-attas telah menunjukkan kelasnya, sehingga atasanya memilih dia sebagai salah satu peserta pendidikan militer yang lebih tinggi. Dia juga belajar sekolah militer di Inggris.
           
Setelah menamatkan sekolah menengah pada 1951, al-Attas mendaftar di resiman Melayu sebagai kadet dengan nomor 6675. Di Sandhurst al-Attas berkenalan untuk pertama kalinya dengan pendangan metafisika tasawuf, terutama dari karya-karya Jami. Setamatnya dari sandhurst, al-Attas ditugaskan sebagai kantor resimen tentara kerajaan Malaya, Federasi Malaya, yang ketika itu sibuk menghadapi serangan komunis yang bersarang di hutan, namun tidak lama.       
            Setelah Malaysia merdeka (1957), al-Attas mengundurkan diri dari dinas militer, dan mengembangkan potensi dasarnya yakni bidang intelekual. Untuk itu al-Attas sempat masuk Universitas Malaya selama 2 tahun. Berkat kecerdasannya dan ketekunannya, di dikirim oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studi di Institut of Islamic Studies, Mc.Gill, Canada. Berhasil menggondol gelar master dengan mempertahankan tesis Reniry and the Wujudyyah of 17th Century Acheh[4].
            Setelah menamatkan sekolahmenengah pada 1951, al-Attas mendaftar di resiman Melayu sebagai kadet dengan nomor 6675. Di Sandhurst al-Attas berkenalan untuk pertama kalinya dengan pendangan metafisika tasawuf, terutama dari karya-karya Jami. Setamatnya dari sandhurst, al-Attas ditugaskan sebagai kantor resimen tentara kerajaan Malaya, Federasi Malaya, yang ketika itu sibuk menghadapi serangan komunis yang bersarang di hutan, namun tidak lama.
            Al-attas kembali ke Malaysia pada 1965, Termasuk di antara orang sedikit orang Malaysia pertama yang memperolehelar Doctor of Philosophy dan yang didapatkan dari Universitas London, al-Attas dilantik menjadi Ketua Jurusan Sastra di Fakultas kajian Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur, dari 1968 sampai 1070, dia menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra di kampus yang sama. Dia juga bertanggung jawab dalam upaya menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di lingkungan fakultas dan universitas, yang karenanya terpaksa menghadapi oposisi dosen-dosen lain yang tidak menyetujui usaha terebut[5].
            Pada 1979, dalam kapasitasnya sebagai salah seorang Pendiri Senior UKM 9Universitas Kebangsaan Malaysia), al-Attas  juga berusaha mengganti pemakaian bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di UKM dengan bahasa Melayu. Dia juga ikut mengonseptualisasikan dasr-dasar filsafat UKM dan melopori pendidikan fakultas ilmu dan kajian Islam.
            Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah seorang pakarbyang menguasai pelbagai disiplin ilmu, seperti teologi, filsafat dan metefisika, sejarah dan sastra. Dia juga seorang penulis yang produktif ferensi peradaban Melayu.
            Dia juga orang yang merancang dan mendesain bangunan kampus ISTAC pada 1991. Pada tahun 1993, dia diminta menyusun tulisan klasik yang unik untuk Kursi Kehormatan Al-Ghazali. Pa tahun 1994 dia diminta untuk menggambar auditorium dan masjid ISTAC lengkap dengan lanskap dan dekorasi interior yang bercirikan seni arsitektur Islamyang dikemas dalam sentuhan tradisional dan gaya kosmopolitan[6]. Tahun 1997 Al-Attas dipercaya untuk membangun kampus ISTAc baru yang hanyaa beberapa kilometer dari bangunan ISTAC sekarang.
            Al-Attas sering mendapat penghargaan internasional,  misalnya al-Attas pernah dipercaya untuk memimpin diskusi panel mengenai Islam di Asia Tenggara pada Congres Internasional des Orientalistes yang ke-29 di paris tahun 1979. Pada tahun 1975, atas kontribusinya dalam perbandingan filsafat, dia dilantik sebagai anggota Imperial Iranian Academy of Philosophy. Dia juga pernah menjadi konsultan
Utama penyelenggaraan Festival Islam Internasional (World of Islam Festival) di London 1976, sekaligus menjadi pembicara dan utusan dalam Konferensi Islam Internasional yang diadakan secara bersamaan di tempat yang sama.
2.2       Pemikiran Tentang Pendidikan
            Paradigma pemikiran al-Attas bila dikaji secara historis merupakan sebuah pemikiran yang berawal dari dunia metafisis kemudian ke dunia kosmologis dan bermuara pada dunia psikologis. Perjalanan kehidupan dan pengalaman pendidikannya memberikanandil yang sangat besar dalam pembentukan paradigm pemikiran selanjutnya. Oleh karena itu, bila dilihat secara seksama, maka pemikiran al-Attas berawal dari keprihatinannya terhadap penyempitan makna terhadap istilah-istilah ilmiah islam yang disebabkan oleh upaya westernisasi, mitologisasi, pemasukan hal-hal yang magis (ghaib) dan sekularisasi. Sebagai jawaban untuk menanggulangi distorsi atau bahkan mengembalikannya pada proporsi yang sebenarnya, maka al-Attas memperkenalkan, dan mngemukakan proses de westernisasi dan islamisasi sebagai langkah awal membangun paradigma pemikiran islam kontemporer.
1.      De westernisasi dan Islamisasi

De westernisasi mempunyai arti pembersihan dari westernisasi. Jika dipahami, sebagai pembaratan atau mengadaptasi, meniru dan mengambil alih gaya hidup Barat maka de westernisasi dipahami sebagai upaya penglepasan sesuattu dari proses pemberatan, atau dengan kata lain memurnikan sesuatu dari pengaruh-pengaruh Barat.
Dalam pernyataan yang dikemukakan al-Attas bahwa pada proses dewesternisasi dan Islamisasi yang menjadi kendali utama adalah manusia. Jika melalui suatu tafsiran alternative  pengetahuan tersebut manusia mengetahui hakekat dirinya serta tujuan sejati hidupnya dan dengan mengetahui itu ia mencapai kebahagiaannya, maka pengetahuan itu walaupun tercelup dengan unsur-unsur tertentu yang menentukan bentuk karakteristik dimana pengetahuan itu dikonsepsikan, di evaluasi dan ditafsirkan sesuai dengan suatu pandangan tertentu, dapat disebut sebagai pengetahuan yang sejati, karena pengetahuan seperti itu telah memenuhi tujuan manusia dalam mengetahui segalanya.[7]
Strategi yang digunakan al-Attas adalah, pertama, Posisi umat Islam. Posisi umat Islam saat ini, pasca keruntuhan paham sosialis komunis, menjadi satu-satunya paham yang berseberangan dengan paham kapitalisme Barat. Dalam posisi yang demikian, maka pandangan-pandangan dunia Islam yang murni menjadi sorotan utama bagi pakar pemikiran I nternasional.
Kedua, sumber daya manusia merupakan asset yang paling dominan. Dalam berbagai aspek kehidupan, sumber daya manusia merupakan unsur yang paling vital dalam sebuah perubahan, termasuk Islamisasi ilmu. Sehingga sumber daya manusia yang Islami secara inheren akan memiliki pandangan dunia yang Islami dan mengamalkan nilai-nilai yang islami pula.
Ketiga, disiplin ilmu merupakan benda mati. Upaya Islamisasi ilmu dengan mengarah pada disiplin itu sendiri pada dasarnya tidak akan mempunyai arti bila tidak berada ditangan orang-orang yang mempunyai pandangan dunia dan mengamalkan nilai-nilai Islam.
Sebab, disiplin ilmu itu sendiri merupakan benda mati yang fungsi dan peranannya sangat tergantung pada  manusianya.

2.      Metafisika dan Epistemologi
a.       Metafisika Islam
Pemikiran metafisika al-Attas berangkat dari  paham teologisnya. Dalam tradisi Islam dikenal beberapa istilah. Terutama dalam tradisi tasawuf. Al-Attas memberikan batasan yang jelas mengenai berbagai tingkatan para salik (orang yang melakukan olah spiritual tasawuf) dalam dunia kesufian. Paling tidak terdapat tiga tingakatan yang ketiganya merupakan sebuah peringkat yang bersifat herarkis, yaitu: Pertama, mubtadi’ ,yakni seorang sufi yang berada pada tingkatan awal. Dalam gradasi ini salik masih terbatas melaksanakan amalan-amalan yang berkisar pada masalah moral dan adab. Tingkatan ini menjadi tangga pertama dalam upaya merengkuh tangga selanjutnya. Salik tidak akan mengalami promosi tingkat bila dalam gradasi yang pertama belum berhasil secara tuntas.

Kedua, mutawassith, memasuki gradiasi kedua si salik sudah mendalami dan mengamalkan wirid dan dzikir yang mengenal kuantitas, kualitas, tempo dan frekuensinya ditentukan sang mursyid (guru si salik). Pada tingkatan ini si salik harus melaksanakan wirid dan zikir secara kontinu. Sedangkan zikir itu sendiri meliputi zikir dalam bentuk perkataan (zikir qauliy), perbuatan (zikr dan perasaan atau yang dilakukan dalam hati (zikr qalby).

Ketiga, muntahiy. Pada tingkatan tertinggi ini si salik memasuki dunia filsafat dan metafisika. Gradasi terakhir ini mewajibkan si salik memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam tentang tiga jenis pengetahuan (‘ilm), yaitu ilmu kebijaksanaan ketuhanan (al hikmah al ilahiyah), ilmu-imu naqliyah atau syari’ah (al ‘ulum al syari’ah) dan yang terakhir ilmu-ilmu rasional (al-ulum al aqliyyah).

Dengan ketiga jenis pengetahuan ini, maka tasawuf yang dikemukakan al-Attas di atas, lebih dikenal dengan ebutan tasawuf falsely. Sedangkan tasawuf yang membatasi dirinya pada tingkatan pertama dan kedua dikenal dengan istilah tasawuf akhlaqy.


 Pemikiran terhadap Pengetahuan dan Pendidikan Islam
            Dominasi pengetahuan Barat yang sekuler dan dalam perkembangannya menjelma dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang dehumanistik telah menjadikan manusia hanya sebagai objek rekayasa ekonomi dan politik pada elit masyarakat dan eksploitasi alam yang tidak terkendali lagi, bahkan terjadinya desintegrasi social dan degradasi (dekadensi) moral. Diyakini kaum muslimin dapat terbebas dari berbagai kesalahan nilai yang berasal dari sekularisasi pengetahuan Barat tersebuthanya dengan proses Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
            Al-Attas berusaha keras menggiring umat muslimin melalui agenda islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologinya dan melalui konsep dan system pendidikannya yang merupakan starting point dari keseluruhan programnya yang lebih merupakan sebagai gerakan aksiologis dan sebagai upaya preventif dengan legitimasi normative berdasarkan Al-qur’an dan al-Hadits.[8]
            Al-Attas berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui suatu proses intuitif. Hal ini dapat dimengerti karena semua yang tampak dan merupakan realitas adalah Tuhan. Dari Tuhan inilah adanya pancaran, atau dengan kata lain melimpah menjadi wujud-wujud yang sangat banyak, yang diantaranya adalah ilmu pengetahuan. Dengan demikian, tidaklah dapat dipungkiri bahwa ilmu pengetahuan itu sebenarnya berasal dari Tuhan, karena itu ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia adalah tafsiran terhadap pengetahuan dari Allah. Karena itulah, bila dilihat dari sumber hirarki ilmu pengetahuan itu, maka sesungguhnya pengetahuan adalah kedatangan makna sesuatu atau objek pengetahuan ke dalam jiwa.


2.3.      Karya-karya Al-Attas

Unsure terpenting yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam mempertimbangkan kualitas dan bobot serta keilmuan seserang adalah terletak pada karya-karya yang telah dihasilkannya, baik dalam bentuk tulisan maupun kuantitasnya.
Adapun karya-karya al-Attas  antara lain adalah:
1.      Rangkaian Ruba’iyat, (kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1959).
2.      Some Aspect of Sufism as Understood and Practiced Among the Malays, (Singapore: MSRI, 1963).
3.      Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh, Monograph of the Royal Asiatic No.III, (Singapore: Malaysian Branch, 1966).
4.      The Origian of the Malay Shair, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1986).
5.      Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,1969).
6.      The Mysticism of Hamzah Fansuri, (Kuala Lumpur: Universitas Malaya Press, 1969).
7.      Concluding POstcript to the Malay Shair, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1971).
8.      The Correct date of the Trengganu Inscription, (t.k.: The Muzeums Departement, 1971).
9.      Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Kuala Lumpur: Penerbit Universitas Kebangsaan Malaysia, 1972); sedangkan untuk edisi Indonesia diterbitkan (Bandung: Untuk Kaum Muslimin, (belum diterbitkan).
10.  Comments on the Re-examination of al-Raniry’s Hujjat al-Shiddiq, A Refutation, (Kuala Lumpur: Muzium Departement Paninsular, Malysia, 1975).
11.  Islam the Concept of Religion and the Foundation of Ethnic and Morality, (Kuala Lumpur: ABIM, 1975); dan dimuat juga gagasannya ini di dalam Altaf Gauhar, (Ed.), Tantangan Islam, (Bandung: Purtaka, 1982).
12.  Preliminary Thought on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education, (T.K.:PMIM, 1977); topic ini dimuat juga dalam Naquib al-Attas (Ed.), Aims and Objectives of Islamic Education, (Jeddah: Hodder and Stought & King Abdul Aziz University, 1979)
13.  Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ABIM, 1978); untuk edisi Indonesia diterbitkan (Bandung: Pustaka, 1981)
14.  Dilemma Kaum Muslimin, (Surabaya: Bina Ilmu,t.t.).
15.  The Concept of Education in Islam: A Franework for an Islamic Philosophy of Education, (Kuala Lumpur: ABIM, 1980); untuk edisi Indonesia diterbitkan (Bandung: Mizan, 1984).
16.  A Commentary on the Hujjat al-Shiddiq of Nur al-Din al-Raniry, (Kuala Lumpur:  Ministry of Cultur Malaysia, 1986).
17.  The Oldest Known Malay Manuscript 16th Century Malay Translation of the Aqaid of al-Nasafi, (Kuala Lumpur: University of Malay Press, 1988).
18.  Comments on Refutation. (belum diterbitkan).
19.  Islam, Secularism and Philosophy of the Nature, 1985.
20.  Islam and the Philosophy of Science, 1989; sedangkan untuk edisi Indonesia dengan judul: Filsafat Sains, Terj. Saiful Muzami, (Bandung: Mizan,1995).

Disamping yang telah dituliskan di atas, masih banyak lagi karya-karya al-Attas yang telah dipresentasikannya dalam berbagai seminar,symposium,konferensi dan lain-lainnya, baik dalam negeri maupun luar negeri yang belum diterbitkan.

2.4.      Kontribusinya dalam Pendidikan Nasional
            Dengan secara sistematis, menegaskan dan menjelaskanbahwa tujuan pendidikan menurut Islam bukanlah untuk menghasilkan  warga negara dan pekerja yang baik. Sebaliknya tujuan itu untuk menciptakan manusia yang baik. Pada tahun 1970, al-Attas mengajukan pada Ghazali Syafie, yang kemudioan menjadi Menteri dalam Negeri Malaysia, bahwa “tujuan pendidikan dari tingkat yang paling rendah hingga paling tinggi seharusnya tidak ditujukan menghasilkan warga negara yang sempurna, tetapi untuk memunculkan manusia paripura”7).
            Pendidikan menurut al-Attas adalah “ pemyamaian dan penanaman adab dalam diri seseorangdisebut ta’dib”. Al-Quran menegaskan bahwa conto ideal bagi orang yang beradab adalah Nabi Muhammad Saw, yang oleh kebanyakan Sarjana Muslim disebut sebagai manusia sempurna. Oleh karena itu, pengaturan administraasi pendidikan Islam harus merefleksikan Manusia Sempurna. Secara simbolik yang dilakukan al-Attas denagn mencantumkan nama “Muhammad” di tenagh-tengah logo institusi pendidikan yang diddirikan dan dipimpinnya, yaitu ISTAC (International of Islamic Thought and Civilization), Kuala Lumpur. 
              Pemikiran naquib al-attas , tujuan pendidikan, pendidikan nasional, undang-undang, nomor 20 tahun 2003. Pemikiran Naquib al-Attas tentang tujuan pendidikan mempunyai kesamaan dengan tujuan pendidikan nasional, yakni sama-sama peduli terhadap masalah pengembangan manusia yang tidak hanya aspek kognitifnya saja akan tetapi juga aspek kemandirian dan moral atau budi pekerti. Perbedaannya adalah al-Attas lebih memprioritaskan pembentukan individu manusia yang sempurna dari pada membentuk warga negara yang selalu siap menjadi pekerja bagi pemerintah. Sedangkan tujuan pendidikan nasional mencantumkan keduanya tanpa ada prioritas. Bagi Al-Attas, pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pencapaian tujuan-tujuan sosial-ekonomi, tetapi secara khusus juga berperan dalam mencapai tujuan-tujuan spiritual manusia. Hal ini tidak berarti bahwa tujuan aspek-aspek sosial-ekonomi dan politik tidak penting, tetapi kedudukannya lebih rendah dan lebih difungsikan sebagai pendukung aspek-aspek spiritual.
Pendidikan moral patut mendapat porsi yang lebih dalam sistem pendidikan nasional. Bahkan tujuan pengajaran yang operasional dan pragmatis sekalipun dari sistem pendidikan dari suatu negara itupun harus diarahkan untuk membentuk manusia yang baik dan beradab.  
Berdasarkan keterangan di atas, maka pemikiran tujuan pendidikan al-Attas sungguh memiliki relevansi yang tinggi dengan tujuan pendidikan nasional. Dan patut dijadikan solusi alternatif bagi problem pendidikan nasional yang sampai saat ini belum maksimal dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Akan tetapi pendidikan merupakan agenda besar yang tidak saja menjadi tanggung jawab pemerintah, melainkan pekerjaan yang membutuhkan keterlibatan dan partisipasi aktif dari semua elemen bangsa, tanpa terkecuali. Meski begitu, tidak kemudian masing-masing elemen bangsa dapat mengerjakan sendiri-sendiri secara terpisah dan terpencar, justru pada saat seperti ini perlu adanya kerjasama, baik antar-elemen maupun antara elemen bangsa dengan pemerintah.


Posisi Al-Attas dalam Peta Pembaruan Pendidikan Islam
            Ketika pemikiran umat Islam mulai bangkit pada decade belakangan ini ternyata masih menyisakan banyak sekali persoalan pendidikan yang harus ditangani secara positif dan serius oleh para intelektual ataupun cendekiawan muslim. Persoalan ini perlu ditangani guna dapat menemukan paradigm baru bagi reformulasi pengembangan pemikiran keislaman, yang mampu berdialog dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut.
Peta kebangkitan pemikiran umat Islam yang paling dominan pada upaya reinterpretasi (interpretasi baru) Al-Qur’an, penggalian kembali khazanah intelektual muslim, reaktualisasi ajaran Islam, dengan tema sentralnya “Pribumisasi Islam”, melihat ke masa depan untuk antisipasi, dan uapaya Islamisasi kebudayaan serta peradaban, terutama Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Singkat kata, peta kebangkitan itu ditandai dengan upaya-upaya yang serius demi mencari solusi terhadap pemecahan kemelut ataupun problema yang menerpa dunia pendidikan Islam yang cukup akut.
Al Attas menyatakan, kita tidak harus mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi, tetapi lebih dari itu, perlu mengubah perubahan itu agar sesuai dengan konsep-konsep Islam yang telah teruji kehebatannya. Dengan demikian, sekarang yang menjadi persoalan berat bagi kita adalah perubahan-perubahan tersebut dilakukan oleh siapa, serta kemana arah yang akan dituju oleh perubahan itu dan kita pun harus menilai sah atau tidaknya perubahan-perubahan tersebut.
            Sasuai dengan misi Islam sebagai rahmatan lil alamin para intelektual muslim harus mampu memfungsikan pendidikan sebagai alat pencetak pribadi-pribadi muslim yang tangguh mampu bersaing di tengah-tengah kemajuan peradaban dan mampu tampil terdepan dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai suatu karakteristik dari dunia modern itu sendiri sehingga di dalamnya akan terceminlah nilai-nilai Islam. Islam terbukti pernah berada pada puncak kejayaannya, namun sayangnya kemudian terpuruk dalam tempo yang sangat panjang. Semua bidang manjadi lemah. Bahkan bidang pendidikan yang paling parah. Seandainya semuanya dibiarkan saja berlarut-larut, maka akan lestarilah kelemahan-kelemahan umat Islam itu dalam segala aspek kehidupannya.
            Bercermin dari pengalaman tersebut, maka pembaruan pendidikan Islam menjadi suatu keharusan. Sayangnya upaya ini pun terkendala dengan polarisasi atau perbedaan pola yang mencolok, sehingga menimbulkan kerumitan tersendiri pula. Polarisasi ini terbagi kepada tiga bentuk. Pertama: pola pembaruan pendidikan Islam yang sepenuhnya berorientasi kepada pola pendidikan modern Eropa (mengadopsi secara keseluruhan konsep-konsep Barat), Kedua: pola pembaruan yang berorientasi sepenuhnya kepada pemurnian ajaran Islam,(berorientasi murni kepada sumber ajaran Islam= Al-Quran dan Al-HAdits, Ketiga: pola pembaruan pendidikan yang berorientasi kepada kekayaan dan sumber budaya bangsa atau nasionalisme (menggabungkan antara konsep-konsep modern Barat dengan sumber-sumber Islam).
Gagasan dan pembahasan al-Attas tentang pembaruan pendidikan di muka tampaknya berada pada posisi atau pola yang kedua, yakni berorientasi secara murni kepada Islam dengan menjadikan al-Quran dan al-Hadits sumber utamanya ditambah dengan hasil dari pengelaborasiannya terhadap kitab-kitab klasik.
Hal ini juga diperkuat dengan pandangan al-Attas bahwa Islam baginya adalah way of life atau jalan hidup yang terlengkap. Sedangkan dalam kaitan dengan tujuan sejati hidup manusia, adalah untuk menjalankan ibadah atau berbakti kepada Allah SWT.
Dengan pandangan itu berarti al-Attas selalu berusaha agar setiap pemikiran, perbuatan dan perkataannya harus selalu Islami, kendati pada kenyataannya ia sendiri adalah alumni Barat yang sekuler, bahkan sekarag ia termasuk dari salah seorang pengkritik Barat yang paling vocal. Disadari bahwa pemikiran seseorang dengan paradigma ataupun model dan karakteristik tertentu akan berdampak bagi masyarakat pada umumnya, dan dalam konteks pembaruan pemikiran Islam itu sendiri pada khususnya.






BAB III
PENUTUP

Berdasarkan berbagai deskripsi yang telah dipaparkan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa  paradigma pemikiran al-Attas bila dikaji secara historis merupakan sebuah pemikiran yang berawal dari dunia metafisis kemudian ke dunia kosmologis dan bermuara pada dunia psikologis. Perjalanan kehidupan dan pengalaman pendidikannya memberikanandil yang sangat besar dalam pembentukan paradigm pemikiran selanjutnya.
Al-Attas berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui suatu proses intuitif. Hal ini dapat dimengerti karena semua yang tampak dan merupakan realitas adalah Tuhan. Dari Tuhan inilah adanya pancaran, atau dengan kata lain melimpah menjadi wujud-wujud yang sangat banyak, yang diantaranya adalah ilmu pengetahuan.
Hal ini juga diperkuat dengan pandangan al-Attas bahwa Islam baginya adalah way of life atau jalan hidup yang terlengkap. Sedangkan dalam kaitan dengan tujuan sejati hidup manusia, adalah untuk menjalankan ibadah atau berbakti kepada Allah SWT.


[1] Nor Wan Daud,Wan Moh.Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas.Bandung:Mizan, 2003.hal 45
[2] Ibid.46
[3] Nizar,Samsul.Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta Selatan:Ciputat Press, 2002.hal 118

[4] Ibid.hal 119
[5] Ibid. hal 50
[6] Ibid.hal 51
[7] Ramayulis,Samsul Nizar.Filsafat Pendidikan Islam:Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya.Jakarta:Kalam Mulia, 2009.hal 306

[8] Badaruddin,Kemas.Filsafat Pendidikan Islam.Jogjakarta:Pustaka Pelajar, 2007.hal 65

DOWNLOAD file ini

1 komentar: