BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Belajar bukan hanya menghafal dan bukan pula
mengingat, tetapi belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya
perubahan pada diri siswa. Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat
ditunjukkan dalam berbagai bentuk, seperti perubahan pengetahuanya, sikap dan
tingkah laku ketrampilan, kecakapanya, kemampuannya, daya reaksinya dan daya
penerimaanya. Jadi belajar adalah suatu proses yang aktif, proses
mereaksi terhadap semua situasi yang ada pada siswa. Belajar merupakan suatu
proses yang diarahkan pada suatu tujuan, proses berbuat melalui situasi yang
ada pada siswa.
Dalam suatu pembelajaran juga perlu didukung
oleh adanya suatu teori dan belajar, secara umum teori belajar di kelompokan
dalam empat kelompok atau aliran meliputi: (1) Teori Belajar Behavioristik (2)
Teori Belajar Kognitifistik (3) Teori Belajar Konstruktifistik (4) Teori
Belajar Humanistik.
Untuk memahami lebih lanjut maka dalam makalah
ini akan membahas mengenai Teori
Belajar Humanistik.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Apakah yang
dimaksud teori belajar humanistik?
2.
Siapakah
tokoh-tokoh teori belajar humanistik?
3.
Apakah ciri-ciri
dan prinsip dalam teori belajar humanistik?
4.
Bagaimanakah
aplikasi dan implikasi dari penerapan teori belajar humanistik dalam pembelajaran?
1.3 Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui
pengertian teori belajar humanistik.
2.
Untuk mengetahui
tokoh-tokoh teori belajar humanistik.
3.
Untuk mengetahui
ciri-ciri dan prinsip dalam teori belajar humanistik.
4.
Untuk mengetahui
aplikasi dan implikasi dari penerapan teori belajar humanistik dalam
pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Teori Belajar Humanistik
Teori belajar humanistik
yang di pelopori oleh Abraham Maslow mencoba untuk mengkritisi teori Freud dan
behaveoristik. Menurut Abraham hal yang terpenting dalam melihat manusia adalah
potensi yang dimilikinya. Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia daripada
berfokus pada “ketidak normalan” atau “sakit” seperti yang dilihat oleh teori
Freud. Pendekatan ini melihat kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu
bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal – hal positif. Kemampuan
positif ini disebut potensi yang ada dalam manusia dan pendidik yang beraliran
humanistik biasanya memfokuskan pada hal – hal positif ini.
Kemampuan
positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat
dalam domain efektif. Misalnya kemampuan dalam ketrampilan membangun dan
menjaga relasi yang hangat dengan orang lain, kepercayaan, penerimaan,
kesadaran, memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal dan
pengetahuan interpersonal lainnya. Jadi intinya adalah meningkatkan kualitas
keterampilan interpersonal dalam kehidupan sehari – hari. Selain menitikberatkan
pada interpersonal, para pendidik juga membuat pembelajaran yang membantu
peserta didik untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat, berimajinasi,
mempunyai pengalaman, berintuisi, merasakan dan berfantasi. Pendekatan ini
mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Freudian melihat emosi
sebagai sebagai hal yang mengganggu perkembangan, sementara humanistik melihat
keuntungan pendidikan emosi. Jadi bisa dikatakan bahwa emosi adalah karakteristik
yang sangat kuat dan nampak dari para pendidik
beraliran humanistik. Karena berfikir dan merasakan saling beriringan,
mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikan salah satu potensi
terbesar manusia. [1]
2.2 Tokoh-tokoh Teori Belajar Humanistik
Adapun tokoh –
tokoh yang mempelopori psikologi
humanistik yang digunakan sebagai teori belajar humanisme sebagai berikut :
Di kenal sebagai pelopor aliran humanistik. Maslow percaya bahwa
manusia bergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya
yang paling di kenal adalah teori tentang Hierarchy of Needs ( Hirarki
kebutuhan ). Dia mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk
memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri orang memiliki rasa takut
yang dapat membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi
lain memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan. Manusia juga
bermotivasi untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan hidupnya. Kebutuhan –
kebutuhan tersebut memiliki hirarki ( tingkatan ) mulai dari yang rendah sampai
yang tinggi. Adapun hirarki – hirarki tersebut adalah :
·
Kebutuhan
fisiologis atau dasar
·
Kebutuhan
akan aman dan tenteram
·
Kebutuhan
akan dicintai dan disayangi
·
Kebutuhan
untuk dihargai
·
Kebutuhan
untuk aktualisasi diri
b)
Arthur
Combs
Bersama dengan Donald Syngg ( 1904 – 1967 )
mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (
makna atau arti ) konsep sering yang di gunakan. Belajar terjadi bila mempunyai
arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak di sukai atau
tidak relevan dengan kehidupan mereka. Untuk itu guru harus memahami perilaku
siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut, sehingga apabila
merubah perilakunya, seorang guru harus berusaha merubah keyakinan atau
pandangan siswa yang ada.
Combs berpendapat bahwa banyak
guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi
pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidak
menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang terpenting adalah bagaimana
membawa siswa untuk memperoleh arti bagi kepribadiannya dari materi pelajaran
tersebut dan menghubungkan dalam kehidupan. Combs memberikan persepsi diri dan
dunia seseorang seperti dua lingkaran ( kecil dan besar ).
Ø Lingkaran kecil adalah gambaran dari
persepsi diri
Ø Lingkaran besar adalah persepsi dunia.
c)
Carl
Rogers
Adalah seorang psikolog humanistik yang menekankan perlunya sikap
saling menghargai dan tanpa prasangka dalam membantu mengatasi masalah –
masalah kehidupannya.[2] Menurutnya
hal yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru
memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran yaitu :
1.
Menjadi
manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus
belajar tentang hal – hal yang tidak ada artinya.
2.
Siswa
akan mempelajari hal – hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan
pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bahan dan ide
baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
3.
Pengorganisasian
bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bahan
yang bermakna bagi siswa.
4.
Belajar
yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
Dari bukunya Freedom to learn, ia menunjukan sejumlah
prinsip – prinsip yang terpenting adalah :
1.
Manusia
itu mempunyai kemampuan belajar secara alami
2.
Belajar
yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai
relevansi dengan maksud – maksud tersendiri.
3.
Belajar
yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri di anggap
mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
4.
Belajar
yang bermakna di peroleh siswa dengan melakukanya.
5.
Belajar
diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung
jawab terhadap proses belajar itu.[3]
Salah satu
model pendidikan terbuka mencakup konsep mengajar guru yang fasilitatif yang
dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai
kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung yaitu empati,
penghargaan dan umpan balik positif.
Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
1.
Merespon
perasaan siswa
2.
Menggunakan
ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
3.
Berdialog
dan berdiskusi dengan siswa
4.
Menghargai
siswa
5.
Kesesuaian
antara perilaku dan perbuatan
6.
Menyesuaikan
isi kerangka berpikir siswa ( penjelasan untuk memantapkan
kebutuhan segera dari siswa )
7.
Tersenyum
pada siswa
Dari penelitian
itu diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan
angka konsep diri siswa, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik
termasuk pelajaran bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi
tingkat problem yang berkaitan dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada
peralatan sekolah, serta siswa menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat
berpikir yang lebih tinggi.[4]
Bagaimana proses belajar dapat terjadi menurut teori belajar humanisme?
Orang balajar karena ingin mengetahui dunianya. Individu memilih sesuatu untuk
dipelajari, mengusahakan proses belajar dengan caranya sendiri, dan menilainya
sendiri tentang apakah proses belajarnya berhasil.[5]
d) Bloom dan Krathwohl
Dalam hal ini, Bloom dan Krathwohl
menunjukkan apa yang mungkin dikuasai ( dipelajari ) oleh siswa, yang tercakup
dalam tiga kawasan berikut.
1. Kognitif
Kognitif terdiri dari tiga tingkatan:
1) Pengetahuan ( mengingat, menghafal );
2) Pemahaman ( menginterpretasikan );
3) Aplikasi ( menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah );
4) Analisis ( menjabarkan suatu konsep );
5) Sintesis ( menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep
utuh);
6) Evaluasi ( membandingkan ide, nilai, metode, dsb ).
2. Psikomotor
Psikomotor terdiri dari lima tingkatan, yaitu:
1) Peniruan ( menirukan gerak );
2) Penggunaan ( menggunakan konsep untuk melakukan gerak );
3) Ketepatan ( melakukan gerak dengan benar );
4) Perangkaian ( melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar );
5) Naturalisasi ( melakukan gerak secara wajar ).
3. Afektif
Afektif terdiri dari lima tingkatan, yaitu:
1) Pengenalan ( ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu );
2) Merespon ( aktif berpartisipasi );
3) Penghargaan ( menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu);
4) Pengorganisasian ( menghubung - hubungkan nilai-nilai yang dipercayai );
5) Pengalaman ( menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup ).[6]
e) Kolb
Sementara itu, Kolb membagi tahapan belajar
menjadi empat tahap, yaitu:
1. Pengalaman konkret;
Pada tahap ini seorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami
suatu kejadian. Dia belum mempunyai kesadaran tentang hakikat kejadian
tersebut. Dia pun belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus
terjadi seperti itu.
2. Pengalaman aktif dan reflektif;
Siswa lambat laun mampu mengadakan observasi aktif
terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.
3. Konseptualisasi;
Siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau
“teori” tentang sesuatu hal yang pernah diamatinya. Pada tahap ini siswa
diharapkan sudah mampu untuk membuat aturan-aturan umum ( generalisasi ) dari
berbagai contoh kejadian yang meskipun tampak berbeda-beda, tetapi mempunyai
landasan aturan yang sama.
4. Eksperimentasi aktif
Siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke
situasi yang baru. Dalam dunia matematika misalnya, siswa tidak hanya memahami
“ asal-usul” sebuah rumus, tetapi ia juga mampu memakai rumus tersebut untuk
memecahkan suatu masalah yang belum pernah ia temui sebelumnya.[7]
f) Honey dan Mumford
Berdasarkan teori Kolb ini, Honey dan
Mumford menggolongkan siswa menjadi empat tipe, yakni:
1. Aktivis
Ciri dari siswa ini adalah suka melibatkan diri pada
pengalaman-pengalaman baru dan cenderung berpikiran terbuka serta mudah diajak
berdialog. Namun, siswa seperti ini biasanya kurang skeptis terhadap sesuatu.
Dalam belajar mereka menyukai metode yang mampu mendorong seseorang menemukan
hal-hal baru, seperti brainstorming atau problem solving. Akan tetapi
mereka cepat merasa bosan dengan hal-hal yang perlu waktu lama dalam
implementasi.
2. Reflektor
Siswa tipe ini cenderung sangat berhati-hati mengambil
langkah sehingga dalam mengambil keputusan mereka lebih suka menimbang-nimbang
secara cermat baik buruknya.
3. Teoris
Siswa tipe ini biasanya sangat kritis, senang
menganalisis, dan tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya
subjektif. Berpikir rasional adalah sangat penting. Dan mereka cenderung sangat
skeptis dan tidak suka hal-hal yang spekulatif.
4. Pragmatis
Siswa pada tipe ini menaruh perhatian besar pada
aspek-aspek praktis dari segala hal. Bagi mereka teori memang penting, tapi
tidak akan berguna jika tidak dipraktikkan.[8]
g) Habermas
Menurutnya belajar sangat dipengaruhi oleh
interaksi, baik dari lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi ini
Habermas membagi belajar menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Belajar teknis ( technical learning )
Dalam belajar teknis siswa belajar bagaimana
berinteraksi dengan alam sekelilingnya. Mereka berusaha menguasai dan mengelola
alam dengan cara mempelajari ketrampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk
itu.
2. Belajar praktis ( practical learning )
Pada belajar ini siswa juga belajar berinteraksi,
tetapi yang lebih dipentingkan adalah interaksi dia dengan orang-orang di
sekelilingnya.
3. Belajar emansipatoris ( emancipatory learning)
Pada belajar ini siswa berusaha mencapai pemahaman dan
kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan ( transformasi ) kultural dari
suatu lingkungan. Inilah tujuan pendidikan yang paling tinggi.[9]
Psikologi
humanistik dan pengajaran di dalam bagian ini berisi tentang bagaimana para
psikolog humanistik berupaya menggabungkan keterampilan dan informasi kognitif
dengan segi efektif , nilai – nilai, dan perilaku antar pribadi. Sehubungan dengan
itu akan di bicarakan tiga macam program :
a.
Confluent education
Adalah proses pendidikan yang memadukan atau mempertemukan
pengalaman – pengalaman
efektif dengan belajar kognitif di dalam kelas.[10] Sebagai
contoh guru bahasa indonesia memberikan
tugas pada para siswa untuk membaca sebuah novel, katakanlah misalnya tentang
“keberanian” sebuah novel perang. Melalui tugas itu siswa diharapkan memahami
isi bacaan tersebut dengan sebaik – sebaiknya tetapi juga memperoleh kesadaran
antar pribadi yang lebih baik dengan jalan membahas pengertian mereka sendiri
mengenai keberanian dan perasaan takut. Untuk keperluan itu tugas tersebut di
lengkapi dengan tugas – tugas yang berkaitan,
antara lain :
1)
Mewawancarai
orang – orang yang tahu tentang perang.
2)
Mendengarkan
musik perang, menuliskan pikiran – pikiran dan perasaan yang timbul secara
bebas, kemudian menghayatinya dalam kelompok – kelompok kecil.
3)
Memperdebatkan
apakah perang itu dapat dihindari ataukah tidak.
4)
Membandingkan
perang saudara dengan sajak – sajak perang.
b.
Open Education
Adalah proses pendidikan terbuka, Menurut Walberg dan Thomas
(1972), open education itu memiliki delapan kriteria :
1)
Kemudahan
belajar tersedia, artinya berbagai macam bahan
yang di perlukan untuk belajar tersedia
2)
Penuh
kasih sayang, hormat, terbuka dan hangat artinya menggunakan bahan buatan siswa
: guru menangani masalah – masalah tingkah laku dengan jalan berkomunikasi
secara pribadi dengan siswa yang bersangkutan saja.
3)
Mendiagnosis
peristiwa – peristiwa belajar , artinya siswa – siswa memeriksa pekerjaan
mereka sendiri.
4)
Pengajaran,
artinya pengajaran individual ; tidak ada tes ataupun buku kerja.
5)
Penilaian,
artinya guru membuat penilaian secara individual : hanya sedikit sekali di
adakan test formal.
6)
Mencari
kesempatan untuk pertumbuhan profesional, artinya guru menggunakan bantuan
orang lain, guru bekerja dengan teman – teman sekerjanya.
7)
Persepsi
guru sendiri, artinya guru berusaha mengamati semua siswa untuk memantau
kegiatan mereka.
8)
Asumsi
tentang para siswa dan proses belajar, artinya suasana kelas hangat dan ramah,
sehingga para siswa asyik melakukan sesuatu.[11]
Meskipun
pendidikan terbuka itu memberikan kesempatan pada para siswa untuk bergerak
secara bebas di sekitar ruangan dan memilih aktifitas belajar mereka sendiri,
namun bimbingan guru tetap di perlukan. Kira-kira
perlu di catat bahwa open education ini lebih efektif dari pada
pendidikan tradisional dalam hal meningkatkan hal belajar yang bersifat
efektif, kerja sama, kreatifitas, dll.
c.
Cooperative learning
Belajar cooperative merupakan fondasi yang baik untuk meningkatkan
dorongan berprestasi siswa. Menurut Slavin (1980) cooperative memiliki tiga
karakterisik sebagai berikut :
1)
Siswa
belajar dalam tim – tim yang kecil (4-6 orang anggota) komposisi ini tetap
selama berminggu – minggu.
2)
Siswa
di dorong untuk saling membantu dalam mempelajari bahan yang bersifat akademik
atau dalam melakukan tugas kelompok.
3)
Siswa
diberi imbalan atau hadiah bagi yang berprestasi.
Adapun teknik dalam belajar cooperative learning itu ada empat
macam :
a) Team game tournament (TGT);
dalam teknik ini siswa –siswa yang kemampuan dan jenis kelaminnya berbeda di
satukan dalam team (4 orang). Setelah itu guru menyajikan soal dan team lalu
mengerjakan, saling mengajukan pertanyaan dan belajar bersama se team untuk
menghadapi tournament yang biasanya di selenggarakan seminggu sekali.
b) Teams – achievement divisions;
teknik ini juga menggunakan team (4 orang) tetapi kegiatan tournament di ganti dengan bertanya selama lima belas
menit. Skor – skor pertanyaan menjadi skor team.
c) Jigsaw, dalam
teknik ini siswa di masukan dalam tim –tim kecil yang bersifat heterogen. Bahan
pelajaran di bagikan kepada anggota anggota team. Kemudian siswa tersebut
mempelajari bahan pelajaran yang sama dengan team lain kemudian mereka kembali
ke kelompoknya masing – masing dan menjelaskan apa yang telah dipelajari dari
kelompok lain tersebut kepada kelompoknya.[12]
d) Group investigation adalah teknik di mana para siswa
bekerja di dalam kelompok – kelompok kecil yang menangani berbagai macam proyek
kelas. Setiap kelompok membagi tugas tersebut menjadi sub topik – sub topik,
kemudian setiap anggota kelompok melakukan penelitian yang di perlukan untuk
mencapai tujuan kelompok, setelah itu kelompok mengajukan hasil penelitiannya
kepada kelas. Dalam metode ini hadiah atau point tidak di berikan.
Menurut cooperative learning itu
pada umumnya mempunyai efek yang positif terhadap prestasi akademik.
Keberhasilan cooperative learning ini juga tergantung dengan kemampuan siswa
berinteraksi di dalam kelompok. [13]
2.3 Ciri-ciri
dan Prinsip dalam Teori Belajar Humanistik
2.3.1 Ciri-ciri teori belajar humanistik
Pendekatan
humanisme dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif.
Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan
kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini
mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri yang
ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga
masyarakat. Ketrampilan atau kemampuan membangun diri secara positif ini
menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya dengan
keberhasilan akademik.
Dalam teori belajar
humanistik, belajar dianggap berhasil jika siswa memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha
agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang
pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para
pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu
masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang
unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Ada salah satu ide
penting dalam teori belajar humanisme yaitu siswa harus mampu untuk
mengarahkan dirinya sendiri dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga siswa
mengetahui apa yang dipelajarinya serta tahu seberapa besar siswa tersebut
dapat memahaminya. Dan juga siswa dapat mengetahui mana, kapan, dan bagaimana
mereka akan belajar. Dengan demikian maka siswa diharapkan mendapat manfaat dan
kegunaan dari hasil belajar bagi dirinya sendiri. Aliran humanisme memandang
belajar sebagai sebuah proses yang terjadi dalam individu yang meliputi bagian/domain
yang ada yaitu dapat meliputi domain kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Dengan kata lain,
pendekatan humanisme menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi
terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap siswa. Untuk itu, metode pembelajaran
humanistik mengarah pada upaya untuk mengasah nilai-nilai kemanusiaan
siswa. Sehingga para pendidik/guru diharapkan dalam pembelajaran
lebih menekankan nilai-nilai kerjasama, saling membantu, dan
menguntungkan, kejujuran dan kreativitas untuk diaplikasikan dalam proses
pembelajaran sehingga menghasilkan suatu proses pembelajaran yang
diharapkan sesuai dengan tujuan dan hasil belajar yang dicapai siswa.[14]
2.3.2 Prinsip Teori
belajar humanistik
Beberapa prinsip Teori belajar Humanistik:
1.
Manusia mempunyai belajar alami.
2.
Belajar signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid
mempuyai relevansi dengan maksud tertentu.
3.
Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya.
4.
Tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan bila
ancaman itu kecil.
5.
Bila ancaman itu rendah terdapat pangalaman siswa dalam memperoleh cara.
6.
Belajar yang bermakna diperoleh jika siswa melakukannya.
7.
Belajar lancar jika siswa dilibatkan dalam proses belajar.
8.
Belajar yang melibatkan siswa seutuhnya dapat memberi hasil yang
mendalam.
9.
Kepercayaan pada diri siswa ditumbuhkan dengan membiasakan untuk mawas
diri.
10. Belajar sosial adalah
belajar mengenai proses belajar.
Roger sebagai ahli dari teori belajar humanisme mengemukakan beberapa
prinsip belajar yang penting yaitu: (1). Manusia itu memiliki keinginan alamiah
untuk belajar, memiliki rasa ingin tahu alamiah terhadap dunianya, dan
keinginan yang mendalam untuk mengeksplorasi dan asimilasi pengalaman baru,
(2). Belajar akan cepat dan lebih bermakna bila bahan yang dipelajari relevan
dengan kebutuhan siswa, (3) belajar dapat di tingkatkan dengan mengurangi
ancaman dari luar, (4) belajar secara partisipasi jauh lebih efektif dari pada
belajar secara pasif dan orang belajar lebih banyak bila belajar atas
pengarahan diri sendiri, (5) belajar atas prakarsa sendiri yang melibatkan
keseluruhan pribadi, pikiran maupun perasaan akan lebih baik dan
tahan lama, dan (6) kebebasan, kreatifitas, dan kepercayaan diri dalam belajar
dapat ditingkatkan dengan evaluasi diri, orang lain tidak begitu penting.
2.4 Aplikasi dan Implikasi dari Penerapan Teori
Belajar Humanistik dalam Pembelajaran
2.4.1 Implikasi Teori Belajar Humanistik
a. Guru Sebagai Fasilitator
Psikologi
humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini
adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas
sifasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa
guidenes ( petunjuk ) :
1.
Fasilitator
sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok,
atau pengalaman kelas.
2.
Fasilitator
membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam
kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3.
Dia
mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan
tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang
tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
4.
Dia
mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas
dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5.
Dia
menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat
dimanfaatkan oleh kelompok.
6.
Di
dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik
isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk
menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
7.
Bilamana
cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat
berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota
kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti
siswa yang lain.
8.
Dia
mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga
pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai
suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa.
9.
Dia
harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan
yang dalam dan kuat selama belajar.
10.
Di
dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk
menganalisis dan menerima
keterbatasan-keterbatasannya sendiri.[15]
2.4.2 Aplikasi
Teori Humanistik Terhadap Pembelajaran Siswa
Aplikasi teori
humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang
mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran
humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan
motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru
memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk
memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa berperan
sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman
belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan
potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat
negatif.
Tujuan
pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun
proses yang umumnya dilalui adalah :
1.
Merumuskan
tujuan belajar yang jelas.
2.
Mengusahakan
partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur dan
positif.
3.
Mendorong
siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif
sendiri.
4.
Mendorong
siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri.
5.
Siswa didorong
untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa
yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang
ditunjukkan.
6.
Guru
menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai
secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab
atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
7.
Memberikan
kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya.
8.
Evaluasi
diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa.
Pembelajaran
berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterapkan
pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati
nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari
keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif
dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan
sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat
oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara
bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan,
norma, disiplin atau etika yang berlaku.
Ciri-ciri guru
yang baik dan kurang baik menurut Humanistik
Guru
yang baik menurut teori ini adalah : Guru yang memiliki rasa humor, adil,
menarik, lebih demokratis, mampu berhubungan dengan siswa dengan mudah dan
wajar. Ruang kelas
lebih terbuka dan mampu menyesuaikan pada perubahan.
Sedangkan
guru yang tidak efektif adalah guru yang memiliki rasa humor yang
rendah, mudah menjadi
tidak sabar, suka melukai perasaan siswa dengan komentar yang menyakitkan, bertindak agak
otoriter, dan kurang peka terhadap perubahan yang ada.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Teori Belajar Humanistik adalah suatu teori dalam
pembelajaran yang mengedepankan bagaimana memanusiakan manusia serta peserta
didik mampu mengembangkan potensi dirinya. Adapun tokoh dalam teori ini adalah Abraham Maslow, C. Roger
dan Arthur Comb, dll.
Kemudian aplikasi dalam teori ini, siswa diharapkan
menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan
mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak
orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.
Serta guru hanya berperan sebagai fasilitator.
Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
1.
Merespon perasaan siswa
2.
Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi
yang sudah dirancang
3.
Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
4.
Menghargai siswa
5.
Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
6.
Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa ( penjelasan
untuk memantapkan kebutuhan segera dari siswa )
7.
Tersenyum pada siswa
DAFTAR PUSTAKA
B. Uno, M.
Pd, Dr. Hamzah. 2006. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran.
Jakarta: Bumi Aksara
Dr. Iskandar, M.Pd. 2009. Psikologi Pendidikan. Cipayung: Gaung Persada ( GP )
Press
Hadis, M.
Pd, Drs. Abdul. 2006. Psikologi dalam Pendidikan. Bandung: Alfbeta
Mahmud, Drs.
M. Dimyati. 1990. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: BPFE - Yogyakarta
novinasuprobo.wordpress.com/2008/06/15/teori-belajar-humanistik/
( 4/4/ 2012 at 16.04)
http:// mihwanuddin.wordpress.com
( 4/4/2012 at 15.42)
http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/24/teori-belajar-humanisme/ ( 4/4/ 2012 at 15.48 )
http:// trimanjuniarso.files.wordpress.com (4/4/2012
at 15.38 )
[1] Dr.
Iskandar,M.Pd . Psikologi
pendidikan .,(Cipayung : Gaung persada (GP) Press,2009) hlm.114 - 118
[2]Ibid
[3]Dr.
Iskandar,M.Pd . Psikologi pendidikan
.,(Cipayung : Gaung persada (GP) Press,2009) hlm.114 - 118
[4] http://
trimanjuniarso.files.wordpress.com
[5] Drs. Abdul Hadis, M. Pd. Psikologi
dalam Pendidikan. (bandung: Alfabeta, 2006) hlm. 72
[6] Dr. Hamzah B. Uno, M. Pd. Orientasi
Baru dalam Psikologi Pembelajaran. ( Jakarta: Bumi Aksara ) hal. 14
[7] Dr. Hamzah B. Uno, M. Pd. Orientasi
Baru dalam Psikologi Pembelajaran. ( Jakarta: Bumi Aksara ) hal. 15
[8] Dr. Hamzah B. Uno, M. Pd. Orientasi
Baru dalam Psikologi Pembelajaran. ( Jakarta: Bumi Aksara ) hal. 16
[9] Ibid
[10]Drs. M.
Dimyati Mahmud., Psikologi Pendidikan.,(Yogyakarta : BPFE – Yogyakarta,
1990) hlm 231
[11]Ibid
[12]Drs. M.
Dimyati Mahmud., Psikologi Pendidikan.,(Yogyakarta : BPFE – Yogyakarta, 1990)
hlm 234
[13]Ibid
[15] novinasuprobo.wordpress.com/2008/06/15/teori-belajar-humanistik/
makalah yang bagus mba,
BalasHapusTerimakasih infonya bermanfaat
BalasHapusMy blog
TERIMA KASIH BLOG NYA
BalasHapushttp://http%3A%2F%2Fblog.binadarma.ac.id%2Firman_effendy.wordpress.com
Apa Bedanya Dengan Teori kognitif?
BalasHapus